Kisah Pedagang Koran, Pegiat Literasi di Tengah Gempuran Digitalisasi

TANGERANG, beritahariini.id – Di tengah arus digitalisasi yang semakin mendominasi, beberapa sudut kota masih menyimpan jejak nostalgia. Salah satu kisah menarik datang dari kios koran sederhana milik Ucok (42), yang berlokasi di Jalan Raya Daan Mogot No. 4-27, Kota Tangerang, tepat di samping sebuah rumah makan Padang, di seberang KFC Kisamaun.

Ucok telah mengabdikan lebih dari dua dekade hidupnya sebagai penjaja koran. “Jualan ini sudah dari tahun 1997. Dulu lokasinya di sebelah KFC, sekarang pindah ke samping rumah makan Padang,” kenangnya saat ditemui Sabtu (19/10/2024).

Meskipun sederhana, kios yang didominasi kayu cokelat itu bukan sekadar tempat berdagang bagi Ucok. Bagi dirinya, kios tersebut sudah menjadi bagian dari perjalanan hidup dan sejarah dalam menyalurkan berita kepada masyarakat. “Saya ini itungannya karyawan, kerja. Kalau sebagai agen, ya kita penyalur, paling jatuhnya cari langganan, karena pengecer sekarang sudah sedikit,” jelasnya mengenai perannya dalam rantai distribusi media cetak.

Ucok menyadari bahwa pola konsumsi berita telah berubah drastis dengan kehadiran media digital. Namun, dia tetap setia bertahan, melayani para pembaca setianya yang kebanyakan berasal dari kalangan usia lebih tua. “Masih ada pembacanya. Rata-rata yang baca sekarang umur 40 ke atas. Kalau anak muda, apalagi yang di bawah 20 tahun, jarang baca koran. Mereka lebih suka baca digital,” ungkapnya.

Penjualan korannya pun tidak menentu. “Ya tergantung, kadang bisa 50 eksemplar, kadang 100, bahkan pernah sampai 300,” ujarnya sembari tetap optimis.

Meskipun kiosnya tampak sederhana, Ucok menawarkan beragam jenis koran dari berbagai penerbit. “Di sini semua ada, mulai dari Kompas, Wartakota, Poskota, sampai TangerangExpress dan RadarBanten. Bahkan koran Cina juga ada,” katanya bangga.

Ucok memulai harinya sejak subuh dan biasanya menutup kios sekitar pukul 3 sore. Kecuali hari Minggu, kiosnya tutup lebih cepat. Selama bertahun-tahun menjalani profesi ini, dirinya mengaku tidak pernah merasakan hal yang terlalu istimewa.

“Dibilang sedih ya tidak sedih, dibilang senang ya tidak senang. Imbang saja, ikuti saja alurnya,” tuturnya dengan santai.

Bagi Ucok, membaca adalah bagian penting dari kesehariannya. “Kalau kita tidak baca, kita tidak tahu isinya. Walaupun tidak semua koran dibaca, paling kita lihat berita-berita bagusnya. Kalau sudah biasa baca, yang dicari itu opininya. Karena berita yang bagus bukan cuma di halaman depan,” jelasnya.

Selain melayani pelanggan, dirinya kerap berdiskusi dengan mereka tentang perkembangan literasi. “Biasanya pembicaraan sama pelanggan itu, ‘Koran sekarang sudah tidak ramai, ya?’ dan saya jawab, ‘Iya, anak muda sekarang sudah minim baca,'” ujarnya dengan sedikit prihatin.

Di tengah dominasi teknologi digital, Ucok berharap generasi muda tetap meluangkan waktu untuk membaca media cetak. “Sekarang zamannya sudah digital, ya wajar kalau orang lebih banyak baca online. Tapi di koran itu semua lebih mendalam, sedangkan online cuma sepintas. Kalau koran lebih nyata,” ucapnya, menyiratkan makna esensi berita.

Sebelum mengakhiri obrolan, Ucok berpesan kepada generasi muda agar tidak melupakan kebiasaan membaca. “Pesan saya, anak muda sekarang harus rajin baca. Jangan cuma baca dari HP saja,” pungkasnya.

Kisah Ucok mungkin hanya satu dari sekian banyak pedagang koran yang masih bertahan di tengah arus digitalisasi. Namun, perjuangannya menjadi cermin kecil tentang perubahan zaman, sekaligus pengingat bahwa di balik setiap halaman koran, terdapat ketekunan dan harapan. (Ara)

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *