TANGERANG, beritahariini.id – Kasus tragis pembunuhan dan bunuh diri mengguncang warga Cipondoh, Kota Tangerang. Pasangan suami istri, Boentoro Kwok (70) dan Rita Boentoro Tjin (65), ditemukan tewas di kediaman mereka di Puri Metropolitan, Cipondoh, setelah dilaporkan tidak terlihat selama beberapa hari. Kasus ini diungkap dalam konferensi pers yang digelar oleh Polres Metro Tangerang Kota pada Rabu (2/10/2024).
Kapolres Metro Tangerang Kota, Kombes Zain, menyampaikan keprihatinan dan permohonan maaf atas keterlambatan pemaparan informasi terkait kasus ini. “Sebelum memulai konferensi pers ini, kami ingin menyampaikan keprihatinan atas meninggalnya pasangan suami istri di Cipondoh ini, dan kami mohon maaf baru bisa memberikan keterangan terkait peristiwa ini. Kami perlu berhati-hati dalam penanganan perkara yang terjadi,” jelasnya.
Zain menambahkan bahwa kasus ini tidak dapat dilanjutkan karena pelaku yang diduga melakukan tindakan kekerasan telah meninggal dunia, sesuai dengan Pasal 77 KUHP. “Agar kejadian serupa tidak terulang, kami sarankan masyarakat yang mengalami masalah keluarga untuk berkonsultasi dengan ahli psikologi atau psikiater. Kami juga siap memberikan pendampingan melalui unit PPA,” tambahnya.
Dari hasil penyelidikan dan keterangan 14 saksi, termasuk keluarga dan tetangga, polisi menyimpulkan bahwa kejadian ini merupakan kekerasan dalam rumah tangga yang dipicu oleh ketidakharmonisan hubungan antara Boentoro dan Rita. “Motif dari kejadian ini adalah konflik rumah tangga dan masalah finansial. Pelaku diduga melanggar Pasal 44 ayat (3) UU KDRT,” ujarnya.
Penemuan mayat Boentoro dan Rita dilaporkan oleh Ketua RT setempat, Budi Sunyata, yang curiga setelah tidak melihat pasangan tersebut selama empat hari. Setelah melakukan pengecekan bersama pihak kepolisian, kedua korban ditemukan dalam kondisi tidak bernyawa di dalam rumah. Rita ditemukan di atas tempat tidur dengan luka parah akibat benda tajam, sementara Boentoro ditemukan di kursi dengan luka di perut yang mengindikasikan tindakan bunuh diri.
Berdasarkan hasil olah Tempat Kejadian Perkara (TKP) oleh tim Inafis dan Puslabfor, ditemukan dua buah pisau di bawah kursi dekat Boentoro. Tidak ada tanda-tanda masuk paksa atau perampokan, dan semua pintu serta jendela dalam kondisi terkunci dari dalam. Hal ini menegaskan dugaan bahwa tidak ada orang lain di lokasi saat peristiwa terjadi. Analisis DNA dari barang bukti di TKP juga menunjukkan bahwa tidak ada profil DNA selain milik korban, Boentoro dan Rita.
Dokter Forensik, Liauw Djai Yen, yang melakukan autopsi terhadap kedua jenazah, menjelaskan bahwa ditemukan 42 luka terbuka pada jenazah perempuan, yang merupakan gabungan antara tusukan dan sayatan, dengan luka paling fatal menembus jantung sehingga menyebabkan pendarahan. “Sedangkan pada jenazah laki-laki, ditemukan delapan luka terbuka di perut yang menembus pembuluh nadi utama, menyebabkan kematian,” ucapnya.
Selain hasil forensik, ahli bahasa dari Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, Makyun Subuki, juga mengonfirmasi adanya catatan bunuh diri yang ditulis oleh Boentoro. “Catatan itu secara jelas mencerminkan bahwa dia merasa putus asa, dengan detail yang hanya mungkin diketahui olehnya sendiri, seperti jumlah uang di deposito dan instruksi pengelolaan harta setelah kematiannya,” ujarnya.
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Psikologi Forensik (Apsifor), Nathanael Sumampouw, menyampaikan bahwa rekonstruksi psikologis Boentoro menunjukkan kondisi negatif yang mendorongnya untuk melakukan tindakan keji tersebut. “Kami menemukan adanya frustrasi mendalam yang diakibatkan oleh kesulitan finansial, penyakit, dan konflik dengan istrinya. Kondisi ini memicu eskalasi kemarahan yang berujung pada tindakan kekerasan dan akhirnya bunuh diri,” ungkapnya.
Keluarga Boentoro dan Rita, menurut keterangan polisi, tidak memiliki anak dan hanya hidup berdua di rumah tersebut. Kasus ini menjadi pengingat penting akan bahaya kekerasan dalam rumah tangga serta perlunya dukungan mental dan sosial dalam menghadapi konflik keluarga. (Ara)