TANGERANG, beritahariini.id – Ida Amini (29) terdakwa kecelakaan lalu lintas, mengakui tak miliki Surat Izin Mengemudi (SIM) kepada Jaksa Penuntut Umum (JPU) saat sidang lanjutan, di ruang sidang 1 Pengadilan Negeri Tangerang, Kota Tangerang, Senin (09/10/2023).
Penabrak Kanit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polres Tangerang Selatan (Tangsel) Ida Amini (29), mengaku berkendara dengan kecepatan tinggi dan tak miliki SIM saat mengendarai mobil hingga terjadi kecelakaan lalu lintas tersebut.
Diketahui, terdakwa IA dijerat Pasal 310 ayat 4 subsider 310 ayat 3 dengan ancaman maksimal 6 tahun penjara dan denda Rp12 juta. Serta, kurungan penjara paling lama 6 (enam) tahun.
Terdakwa IA dihadirkan dalam sidang virtual atau daring menjelaskan, alasannya mendahului dari lajur kanan dengan kecepatan tinggi karena pada saat itu sang anak ingin ke toilet. Namun IA tidak memperhatikan dengan detail mengenai situasi dan kondisi sekitaran jalanan. IA memperkirakan bahwa kendaraan yang IA gunakan muat untuk menyalip.
Jaksa pun mempertanyakan kepemilikan SIM kepada terdakwa. Terdakwa sempat berbelit ketika di tanyakan kepemilikan SIM. IA awalnya sempat mengaku tidak membawa fisik SIM. Namun, ketika Jaksa meminta bukti dari SIM terdakwa, IA tidak bisa membuktikannya. Hingga akhirnya IA mengaku tidak memiliki SIM. “Iya tidak ada pak karena ilang,” ucapnya.
Selain itu juga, terdakwa lebih peduli terhadap kendaraan, ia mengaku itupun lantaran karena panik usai kejadian. IA beralasan lantaran kendaraan yang ditumpanginya saat peristiwa adalah milik orang tua bukan milikinya pribadi. “Penyok sebelah kanan sopir dan kaca spion copot. Saya panik seperti itu karena bukan punya (mobil) saya,” ujarnya.
Hakim Ketua Ismail Hidayat menyatakan, IA dalam persoalan tersebut tidak memegang aspek kemanusiaan. “Aspek yang satu ini jangan disepelekan, sebab hal yang disepelekan tidak akan bisa diselesaikan secara kekeluargaan,” ujarnya.
Ismail melanjutkan, hal tersebut pun tak dimiliki oleh IA sejak awal ditetapkan sebagai terdakwa untuk memberikan rasa empati kepada korban dan keluarganya. “Jangan masa bodo, kan bisa diselesaikan secara kekeluargaan. Sudah berkendara tidak bawa SIM, tidak ada juga rasa simpati dan empati kepada korban,” jelasnya.
Kuasa hukum keluarga korban Agus Supriyatna menilai tidak adanya kesesuaian keterangan yang dilontarkan oleh IA dengan saksi-saksi di lokasi peristiwa lakalantas tersebut. Diantaranya, tidak ada rasa empati ditunjukan terdakwa terhadap keluarga korban.
Agus mengungkapkan, saat korban dirawat di rumah sakit, pihak terdakwa tidak ada upaya sama sekali untuk membantu biaya perawatan korban. Hingga sampai pindah rumah sakit pun karena memerlukan perawatan intensif tidak ada upaya itu. “Sampai korban meninggal dunia satu Minggu lebih, baru ada upaya pihak terdakwa datang ke rumah duka. Memang, di situlah pihak terdakwa menawarkan uang,” katanya.
Uang Pihak terdakwa ajukan tersebut bukanlah untuk pengganti biaya pengobatan, lebih tepatnya tawaran agar pihak korban mencabut laporan, dengan tawaran uang sebesar Rp50 Juta.
Pihak keluarga korban masih menunggu penyelesaian terkait biaya pengobatan, pemakaman dan santunan dari pihak terdakwa IA. “Ya pihaknya sudah memberikan omongan terkait biaya pengobatan, kita lihat saja bagaimana realisasinya, apakah ada kesesuaian atau tidak,” ucap Agus. (Alda)